Menunggu Gadis
Oleh: Widodo, S.Pd
Â
Namaku Yahya, mahasiswa tingkat akhir jurusan Teknik Sipil. Saat pengumuman penempatan Kuliah Kerja Nyata diumumkan, jantungku berdegup kencang. Pungangan---nama desa itu terdengar asing, namun juga seperti punya daya magis tersendiri. "Pung" katanya, berarti kampung dalam bahasa lokal. Seolah semesta hendak menuntunku kembali ke akar.
Kami berlima satu tim. Aku dan Santosa, mahasiswa Bahasa Inggris, tinggal di rumah Pak Lurah. Tiga teman perempuan kami---Dina, Raras, dan Tari---menetap di rumah Sekretaris Desa. Meski berasal dari jurusan yang berbeda, semangat kami satu: ingin memberi jejak baik di tanah orang.
Pada acara pembukaan KKN, masyarakat menyambut kami dengan hangat. Anak-anak kecil menggandeng tangan kami, para ibu tersenyum sambil membawa nampan berisi kue cucur dan singkong rebus. Di antara sapaan dan tepukan di bahu, kurasakan suasana baru yang menyenangkan, meski harus mandi di pancuran pinggir sungai dan makan ubi hampir tiap hari.
Kami menyusun tiga program utama: taman penghijauan, menjadi guru bantu di SD setempat, dan pelatihan tari tradisional. Kebetulan Tari, yang kuliah di jurusan seni, punya keahlian itu. Aku sempat ragu saat diajak ikut menari, tapi entah mengapa aku justru menikmati tiap gerakan yang kulatih di pendapa desa.
Di sanalah aku melihatnya. Seorang siswi SMP kelas IX, yang ikut kelompok tari. Namanya... Gadis.
Tangannya semampai, gerakannya lentik. Senyum dengan lesung pipi itu seperti menyimpan rahasia musim semi. Aku yang sudah lama menjomblo, merasa gugup luar biasa saat pertama kali menyapanya. Tangannya dingin saat kujabat, tapi menghangatkan hingga ke rongga hatiku.
Sejak itu, aku rajin datang ke latihan. Bukan hanya karena tariannya, tapi karena Gadis. Kami kian akrab. Suatu malam, seusai latihan, Gadis minta diantar pulang. Aku menyanggupi dengan antusias, meski degup jantungku seperti genderang perang.
Di jalanan sepi di bawah langit bertabur bintang, kami berjalan berdampingan. Anehnya, pembicaraan kami mengalir seperti sungai. Ia bercerita tentang keluarganya, adiknya yang nakal, dan cita-citanya yang masih menggantung. Aku pun bercerita tentang kampus, dosen yang killer, dan impianku membangun jembatan di pelosok negeri.
Tiba-tiba langkah kami terhenti. Dari arah belakang, seseorang memanggil. "Nak Mas, ini aku... bapaknya Gadis."
Aku terperanjat, nyaris gugup bukan main. Tapi sebelum aku sempat menjelaskan, Gadis menggenggam tanganku dan berkata pelan, "Pak, ini Yahya. Teman akrabku."