Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 20 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana—namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Artikel Utama

Ketika Pacu Jalur Mengguncang Dunia, Sekura Lampung Kapan Berteriak?

6 Juli 2025   08:15 Diperbarui: 7 Juli 2025   14:22 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Tari Sekura, Lampung Barat. (Sumber: Youtube.com/ ALon77 via kompas.com)

Beberapa waktu lalu, jagat media sosial meledak oleh Pacu Jalur dari Kuantan Singingi, Riau. Sebuah bidikan video pendek menampilkan seorang anak lelaki dalam barisan dayung yang begitu gagah, gerakan serempak, energi membara, dan tatapan mata "badass" yang menusuk. 

Sontak, video itu viral sporadis, merobek batas geografis, menjangkau warganet internasional. Ini bukan sekadar tontonan, ini adalah proklamasi digital: budaya lokal kita punya daya ledak global, asalkan dikemas dengan nyali, kejujuran, dan otentisitas yang tak terbantahkan.

Namun, di tengah riuhnya kekaguman dunia pada tradisi dari barat Sumatera itu, sebuah pertanyaan menggerogoti benak saya, menusuk nurani sebagai anak kelahiran Lampung: 

Bagaimana dengan Sekura Cakak Buah, tradisi topeng dari Lampung Barat yang tak kalah spektakuler, penuh warna, simbolik, dan dramatik?  Mengapa ia tak kunjung (atau belum) meledak di panggung yang sama?  Apa yang membedakan nasibnya dengan Pacu Jalur? 

Ini bukan sekadar perbandingan, ini adalah jeritan tentang kesadaran dan strategi budaya yang timpang. Di dunia maya, semua punya panggung yang sama, punya peluang yang sama.

Sekura: Lebih dari Sekadar Topeng, Ia Cermin Jiwa yang Bercerita

Sekura Cakak Buah, bagi banyak orang di luar Lampung, mungkin hanya terbayang sebagai karnaval topeng biasa. Pemahaman itu keliru, dan sangat dangkal. Sekura adalah pesta rakyat yang berurat, berakar, dan menyimpan lapisan makna sedalam samudra: identitas kolektif, kritik sosial yang menohok, edukasi moral yang disisipkan dalam tawa, hingga refleksi diri. 

Diadakan saat Hari Raya Idulfitri, Sekura bukan hanya menyatukan, tapi juga mempertentangkan dua polaritas esensial dalam diri manusia: Sekura Betik (beradab, elok, representasi kebaikan) dan Sekura Kamak (nakal, liar, representasi sisi gelap dan kekonyolan manusia).

Topeng di sini bukan sekadar penutup wajah. Ia adalah simbol dialektika hidup: antara wajah yang kita tunjukkan dan yang kita sembunyikan, antara tawa yang pecah dan satire yang menggigit. Tradisi ini memberikan ruang anarkis yang terkendali, memperbolehkan siapa saja tampil berbeda, melampaui batas identitas keseharian, namun tetap dalam bingkai etika, seni, dan kelokalan yang kental. 

Ada kontes lempar buah (cakak buah) yang penuh adrenalin, tarian spontan yang membebaskan, hingga aksi teatrikal yang mengocok perut-semuanya menyatu dalam nuansa lokal yang tak bisa ditiru.

Ironisnya, meski berlangsung meriah dan penuh energi di daerah asalnya, gaung Sekura nyaris tak terdengar hingga ke kancah nasional, apalagi internasional. Ia seperti nyala api yang terang membakar di lingkup lokal, namun redup, bahkan tak terlihat, di mata publik yang lebih luas. Mengapa permata ini tetap tersembunyi dalam peti, padahal dunia haus akan kilau otentisitas?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun