Beberapa waktu lalu, jagat media sosial meledak oleh Pacu Jalur dari Kuantan Singingi, Riau. Sebuah bidikan video pendek menampilkan seorang anak lelaki dalam barisan dayung yang begitu gagah, gerakan serempak, energi membara, dan tatapan mata "badass" yang menusuk.Â
Sontak, video itu viral sporadis, merobek batas geografis, menjangkau warganet internasional. Ini bukan sekadar tontonan, ini adalah proklamasi digital: budaya lokal kita punya daya ledak global, asalkan dikemas dengan nyali, kejujuran, dan otentisitas yang tak terbantahkan.
Namun, di tengah riuhnya kekaguman dunia pada tradisi dari barat Sumatera itu, sebuah pertanyaan menggerogoti benak saya, menusuk nurani sebagai anak kelahiran Lampung:Â
Bagaimana dengan Sekura Cakak Buah, tradisi topeng dari Lampung Barat yang tak kalah spektakuler, penuh warna, simbolik, dan dramatik? Â Mengapa ia tak kunjung (atau belum) meledak di panggung yang sama? Â Apa yang membedakan nasibnya dengan Pacu Jalur?Â
Ini bukan sekadar perbandingan, ini adalah jeritan tentang kesadaran dan strategi budaya yang timpang. Di dunia maya, semua punya panggung yang sama, punya peluang yang sama.
Sekura: Lebih dari Sekadar Topeng, Ia Cermin Jiwa yang Bercerita
Sekura Cakak Buah, bagi banyak orang di luar Lampung, mungkin hanya terbayang sebagai karnaval topeng biasa. Pemahaman itu keliru, dan sangat dangkal. Sekura adalah pesta rakyat yang berurat, berakar, dan menyimpan lapisan makna sedalam samudra: identitas kolektif, kritik sosial yang menohok, edukasi moral yang disisipkan dalam tawa, hingga refleksi diri.Â
Diadakan saat Hari Raya Idulfitri, Sekura bukan hanya menyatukan, tapi juga mempertentangkan dua polaritas esensial dalam diri manusia: Sekura Betik (beradab, elok, representasi kebaikan) dan Sekura Kamak (nakal, liar, representasi sisi gelap dan kekonyolan manusia).
Topeng di sini bukan sekadar penutup wajah. Ia adalah simbol dialektika hidup: antara wajah yang kita tunjukkan dan yang kita sembunyikan, antara tawa yang pecah dan satire yang menggigit. Tradisi ini memberikan ruang anarkis yang terkendali, memperbolehkan siapa saja tampil berbeda, melampaui batas identitas keseharian, namun tetap dalam bingkai etika, seni, dan kelokalan yang kental.Â
Ada kontes lempar buah (cakak buah) yang penuh adrenalin, tarian spontan yang membebaskan, hingga aksi teatrikal yang mengocok perut-semuanya menyatu dalam nuansa lokal yang tak bisa ditiru.
Ironisnya, meski berlangsung meriah dan penuh energi di daerah asalnya, gaung Sekura nyaris tak terdengar hingga ke kancah nasional, apalagi internasional. Ia seperti nyala api yang terang membakar di lingkup lokal, namun redup, bahkan tak terlihat, di mata publik yang lebih luas. Mengapa permata ini tetap tersembunyi dalam peti, padahal dunia haus akan kilau otentisitas?