Waspada, ChatGPT Kadang Bisa "Halu"
"Kadang dia halu."
Begitu peringatan jujur dari Sam Altman, pendiri dan CEO OpenAI, perusahaan di balik ChatGPT.
Di mata banyak orang, ChatGPT ibarat mesin serba tahu yang bisa menjawab apa saja dengan cepat dan meyakinkan. Tapi kenyataannya, seperti manusia, AI ini juga bisa ngaco, memberikan jawaban yang salah, tapi dikemas seolah-olah fakta.
Fenomena ini dikenal sebagai halusinasi AI (AI hallucination): sebuah kondisi di mana sistem kecerdasan buatan memproduksi informasi yang keliru atau mengada-ada, namun terdengar sangat kredibel. Hasilnya, pengguna bisa terjebak pada data palsu yang sulit dibedakan dari fakta.
Bayangkan Anda meminta ChatGPT menjelaskan sebuah undang-undang baru yang Anda dengar namanya di media, tapi belum pernah Anda baca secara resmi. Misalnya:
 "Jelaskan isi UU Perlindungan Data Pribadi versi 2024 beserta pasal-pasal pentingnya."
AI mungkin akan menyusun jawaban yang sangat meyakinkan, bahkan menyebutkan nomor pasal dan isi lengkapnya. Tapi, jika undang-undang itu belum resmi ada atau belum diunggah dalam sumber data AI, ChatGPT bisa mengarang pasal-pasal dan isi yang sebenarnya tidak pernah ada. Tanpa kejelian, Anda bisa saja mempercayainya sebagai fakta.
Fenomena ini bukan kesengajaan AI untuk menipu, melainkan efek samping dari cara kerja AI yang memperkirakan kata demi kata berdasarkan pola data sebelumnya, Â tanpa pemahaman benar atau salah seperti manusia.
Oleh karena itu, pengguna harus tetap waspada, bukan paranoid. Dengan memahami bagaimana AI bekerja dan menerapkan strategi praktis saat berinteraksi, kita bisa meminimalisir risiko terjebak dalam jebakan "halu" ini.
Apa Itu "Halu" Versi AI?
Istilah "halu" dalam konteks AI adalah singkatan dari halusinasi, yaitu ketika sistem kecerdasan buatan, seperti ChatGPT, menghasilkan informasi yang keliru, tidak berdasar, atau bahkan sepenuhnya fiktif --- namun tetap disampaikan dengan gaya yang meyakinkan dan tampak kredibel.