Aku terus merindukan Bapak. Hari itu Bapak keluar dari rumah dengan langkah terburu-buru. Lalu menaiki kereta api dari Stasiun Tanah Abang menuju ke Stasiun Merak ditemani oleh Priasmoro, asisten pribadinya.Â
Priasmoro sangat patuh kepada Bapak. Sering Bapak memujinya sebagai orang baik. Orang Pintar. Orang terdidik. Sesudah dari Merak, Bapak menumpang sebuah perahu menuju ke Lampung, dan kembali menaiki kereta api menuju ke Palembang. Barulah Bapak bisa bertolak ke Padang.
Ibu sudah menerima kabar bahwa Bapak ikut serta dalam sebuah pertemuan PRRI Permesta di Sungai Dareh. Aku pernah mendengar tentang sungai di Sumatera Barat yang memiliki batu-batu indah itu. Batu-batu yang bisa menjadi permata cincin yang rupawan. "Bapak pasti merindukan kami," pikirku sebelum terlelap di kamar.Â
Setelah menerima kabar itu bulan lalu, Ibu bernyanyi di dapur sambil mencuci piring. Tiba-tiba suaranya terdengar parau. Tak lama kemudian suara Ibu menghilang.Â
Aku membayangkan kalau Ibu sedang menangis. Ibu sedang mengelap kedua pipinya yang basah. Kadang-kadang aku juga harus membiarkan kelopak mataku basah saat ingin menyapa Bapak dalam ketiadaannya di rumah.Â
Hanya Kakek dan Nenek yang kerap datang menghibur kami. Membesarkan hati kami. Menceritakan perjuangan demi perjuangan yang telah dilewati keluarga dan leluhur.Â
Hingga sebuah kabar kembali datang bahwa Bapak sudah berada di Tasuka. Dari tepi Danau Tondano itu, Bapak berhasil menyingkir ke Singapura menumpang pesawat Catalina.Â
Dan hari ini, aku melihat kedatangan seorang lelaki asing dari balik jendela. Dia memasuki halaman rumah dengan sangat hati-hati. Perawakannya besar dengan rambut tebal yang disisir rapi.Â
Sembari berdiri mengetuk pintu, bola matanya tak diam. Seolah kedatangannya tak ingin diketahui orang lain. Sontak saja Ibu menyuruhku untuk lekas-lekas membuka pintu.Â
Aku tak mengenal secara persis lelaki berkumis yang kini sedang tersenyum tipis di depanku, tapi Ibu ringan saja dengan ramah menyambutnya. Dia pamit pulang setelah tak lebih dari limabelas menit duduk berbincang dengan Ibu di ruang tamu.
Tanpa ragu-ragu aku menghampiri Ibu. Lantas aku menanyakan ihwal lelaki yang sebelum pergi menyodorkan amplop surat berwarna putih kepada Ibu. Aku kembali menduga-duga amplop surat itu pasti berisi tulisan tangan Bapak. Hanya aku urung untuk menanyakan.Â