Mohon tunggu...
Najwa Karimah
Najwa Karimah Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Pendidikan Sosiologi, Universitas Negeri Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Setia dalam Nestapa, Fenomena Fans Manchester United dan Fans Ferrari dalam Perspektif Sosiologi

7 Juli 2025   15:04 Diperbarui: 7 Juli 2025   15:23 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Meme Fans MU dan Fans Ferrari (Sumber: Google Image)

Dalam jagat olahraga, loyalitas penggemar sering kali menjadi fenomena sosial yang menarik untuk diamati. Di antara banyaknya komunitas pendukung tim olahraga, muncul satu narasi yang cukup viral dan kerap dijadikan bahan lelucon di media sosial: menjadi fans Manchester United (MU) dan Ferrari di Formula 1 berarti memilih jalan hidup yang penuh penderitaan. Ungkapan seperti "Fans MU = Fans Ferrari" mencuat sebagai simbol kegetiran kolektif, merujuk pada kenyataan bahwa kedua tim tersebut memiliki sejarah kejayaan, tetapi dalam beberapa tahun terakhir lebih sering membuat pendukungnya kecewa. Alih-alih ditinggalkan, kedua tim ini justru tetap memiliki basis fans yang sangat kuat, setia, dan vokal.  

Fenomena ini tidak hanya berbicara tentang hasil pertandingan atau klasemen kompetisi, tetapi lebih dalam dari itu: tentang bagaimana identitas, emosi, dan rasa memiliki terbentuk dalam kultur fandom olahraga. Bagaimana mungkin seseorang tetap mencintai tim yang jarang menang? Mengapa banyak orang justru semakin "militan" mendukung tim yang secara performa belum membanggakan? Dan mengapa lelucon tentang penderitaan fans MU dan Ferrari bisa menyebar dan diterima luas sebagai bagian dari budaya populer? Kehadiran media sosial ikut memperkuat fenomena ini. Berbagai meme, komentar sarkastik, hingga thread panjang di Twitter menjadi ajang curhat sekaligus pengikat solidaritas di antara para penggemar. Dalam komunitas daring, penderitaan justru menjadi sumber tawa bersama dan memperkuat rasa kebersamaan antar tifosi. Fenomena ini menunjukkan bahwa menjadi penggemar bukan hanya soal kemenangan atau kekalahan, tetapi juga soal keterikatan emosional dan simbolik terhadap sesuatu yang mewakili identitas dan eksistensi diri.

Fandom olahraga adalah bentuk nyata dari keterikatan emosional dan sosial yang melampaui logika rasional. Dalam konteks fans Manchester United dan Ferrari, kita menyaksikan fenomena sosial yang menarik: loyalitas yang terus bertahan bahkan ketika tim yang didukung gagal memenuhi ekspektasi. Dalam kacamata sosiologi, fenomena ini dapat dijelaskan melalui konsep-konsep seperti identitas kolektif, solidaritas mekanik, hingga konstruksi simbolik dalam budaya populer. Melalui Teori Identitas Sosial dari Henri Tajfel, kita dapat memahami bahwa individu cenderung mengidentifikasikan diri mereka dengan kelompok tertentu sebagai bagian dari proses membangun jati diri. Dalam hal ini, menjadi fans MU atau Ferrari bukan sekadar menikmati pertandingan atau balapan, tetapi juga menjadi bagian dari "ingroup" yang memberikan rasa memiliki, solidaritas, dan kebanggaan tertentu---meski dalam bentuk penderitaan bersama. Bahkan saat performa tim menurun, identitas sebagai fans tetap melekat dan justru semakin diperkuat dengan narasi "kami tetap setia di saat sulit".

Hal ini berkaitan erat dengan konsep solidaritas mekanik dari mile Durkheim, di mana rasa kebersamaan dibentuk bukan karena fungsi atau tujuan rasional, melainkan karena kesamaan pengalaman dan nilai simbolik yang dimiliki bersama. Para fans yang kecewa, marah, bahkan frustrasi, justru menemukan kebersamaan dalam penderitaan itu sendiri. "Satu hati, satu luka" menjadi semacam semboyan tidak resmi dalam komunitas fans, yang justru membuat mereka merasa tidak sendirian dalam menghadapi "musim-musim tragis" tim kesayangan mereka.

Selain itu, Stuart Hall dan John Fiske menyoroti bagaimana media dan budaya populer memainkan peran penting dalam membentuk makna simbolik dalam kehidupan sosial. Meme tentang "Red Flags: MU & Ferrari Fans" atau video parodi tentang "drama pitstop Ferrari" bukan hanya hiburan, tetapi juga menjadi cara komunitas fans menyuarakan emosi mereka secara kolektif. Meme-meme ini menciptakan bahasa bersama yang dimengerti oleh para tifosi di seluruh dunia, menciptakan jaringan simbolik yang memperkuat ikatan antaranggota komunitas. Dalam kerangka ini, fandom juga bisa dibaca sebagai komunitas terbayang (imagined community) sebagaimana dikemukakan oleh Benedict Anderson. Meski tidak semua fans MU saling kenal, mereka merasa terhubung karena berbagi narasi yang sama---baik tentang kejayaan masa lalu maupun luka masa kini. Ikatan ini dibangun melalui simbol-simbol seperti logo, warna jersey, chant, hingga momen-momen viral yang tersebar luas di media sosial. Dengan demikian, fandom menjadi ruang tempat individu membangun identitas dan eksistensi sosial mereka.

Loyalitas terhadap tim yang sedang terpuruk juga dapat dibaca sebagai bentuk resistensi terhadap logika utilitarian. Di tengah budaya yang serba instan, cepat, dan hasil-oriented, menjadi fans tim yang kalah adalah tindakan irasional yang justru memberi makna lebih dalam. Ketika banyak orang berganti klub demi "ikut menang", tifosi justru bertahan dan menjadikan penderitaan sebagai bagian dari ritus pengabdian. Dalam hal ini, fandom bisa dianggap sebagai bentuk ritual kontemporer yang memperkuat keterikatan sosial melalui narasi kesetiaan dan pengorbanan. Menariknya, fandom juga membuka ruang untuk kritik sosial yang dibungkus dalam humor. Para fans MU dan Ferrari sering kali menggunakan sarkasme, ironi, dan komedi sebagai cara untuk memproses kekecewaan mereka. Ungkapan seperti "MU mainnya out of context" atau "strategi Ferrari disusun pakai Google Translate" adalah bentuk humor internal yang berfungsi sebagai katarsis dan memperkuat solidaritas emosional. Humor menjadi alat negosiasi identitas---mengolok diri sendiri tapi tetap bangga menjadi bagian dari komunitas tersebut.

Secara keseluruhan, menjadi fans MU atau Ferrari di era digital bukan hanya tentang mendukung tim olahraga, tetapi juga tentang menjadi bagian dari komunitas simbolik yang punya makna sosial tersendiri. Dalam dunia yang sering kali terfragmentasi dan individualistik, fandom menjadi ruang untuk membangun keterhubungan, berbagi emosi, dan bahkan membentuk wacana alternatif atas budaya populer.

Fenomena fandom terhadap Manchester United dan Ferrari yang begitu setia meski terus-menerus dikecewakan menjadi gambaran menarik tentang nilai-nilai yang tumbuh di luar ruang kelas. Dalam dunia fandom, kesetiaan dan ketangguhan bukan dibentuk dari keberhasilan, tapi justru dari kegagalan yang terus dihadapi bersama. Para tifosi tetap bertahan bukan karena tim mereka selalu menang, tetapi karena ada keterikatan emosional dan historis yang sudah melekat dalam identitas diri. Dalam konteks pendidikan, sikap seperti ini mencerminkan nilai resilience atau daya lenting---kemampuan untuk terus berdiri meski berkali-kali jatuh. Nilai ini sangat penting ditanamkan dalam dunia pendidikan, yang kerap terlalu fokus pada hasil akhir dan melupakan proses perjuangan yang tak kalah bermakna.

Selain itu, fandom juga memperlihatkan bagaimana sebuah komunitas dapat menjadi tempat aman untuk memproses emosi dan membangun solidaritas sosial. Komunitas fans menyediakan ruang di mana individu bisa merasa didengar, dimengerti, dan terhubung---meski hanya lewat curhat online atau meme sarkas tentang kekalahan. Ini memberi pelajaran penting bagi dunia pendidikan bahwa relasi sosial dan emosi tidak bisa dipisahkan dari proses belajar. Sekolah dan kampus perlu menjadi ruang yang membangun hubungan antarmanusia, bukan sekadar ruang akademis yang kering secara emosional. Pendidikan yang humanis dan relasional akan jauh lebih relevan dalam menumbuhkan manusia utuh, bukan hanya pelaku kompetisi intelektual.

Lebih jauh, budaya fandom juga membuka peluang besar untuk mengembangkan literasi budaya dan media. Di era digital ini, siswa dan mahasiswa tak hanya menjadi konsumen media, tapi juga produsen makna. Meme, thread, video TikTok---semua itu bisa menjadi alat untuk memahami bagaimana simbol dan identitas dibentuk, disebarkan, dan diterima. Dunia pendidikan perlu menangkap fenomena ini sebagai potensi: bukan untuk dijauhi, tapi dijadikan bahan ajar yang kontekstual. Dengan pendekatan yang reflektif, fandom bisa menjadi pintu masuk untuk memahami wacana, relasi kekuasaan simbolik, bahkan isu-isu identitas dan representasi.

Terakhir, fandom mengajarkan kita tentang kekuatan keberagaman dalam identitas kolektif. Seorang fans MU bisa berasal dari Jakarta, Nairobi, atau So Paulo, tapi tetap merasa bagian dari komunitas yang sama. Ini menunjukkan bahwa identitas bersama tidak selalu ditentukan oleh kesamaan latar belakang, melainkan oleh pengalaman emosional yang dibagikan secara simbolik. Dalam dunia pendidikan, prinsip ini sangat penting untuk memperkuat nilai-nilai toleransi, empati, dan penghargaan terhadap keberagaman. Fandom mengajarkan bahwa kita bisa tertawa bersama, kecewa bersama, dan tetap saling mendukung meski tak pernah saling bertemu.

Ini menunjukkan bahwa keterikatan manusia pada sesuatu sering kali tidak dibentuk oleh rasionalitas semata. Di balik performa tim yang naik-turun, bahkan cenderung mengecewakan, justru muncul bentuk loyalitas yang mendalam dan emosional. Kesetiaan para tifosi ini menjadi ruang untuk memahami bagaimana identitas sosial, solidaritas, dan makna kolektif terbentuk dan dipertahankan melalui simbol-simbol yang terus direproduksi dalam budaya populer. Dalam logika fandom, menjadi setia bukan soal kemenangan, tapi tentang keberanian untuk terus percaya, bahkan ketika tidak ada yang bisa dijanjikan.

Analisis sosiologis terhadap fenomena ini memperlihatkan bahwa fandom adalah ruang sosial yang kaya akan dinamika emosi, simbol, dan narasi. Komunitas fans menjadi tempat di mana kegagalan bisa diolah menjadi humor, penderitaan menjadi solidaritas, dan kekalahan menjadi perekat relasi. Di tengah masyarakat modern yang serba cepat dan hasil-oriented, keberadaan komunitas seperti ini menjadi bentuk resistensi terhadap tekanan produktivitas dan kompetisi yang terus-menerus. Fandom memberi ruang bagi manusia untuk tetap menjadi makhluk sosial yang merasa, kecewa, namun juga saling menguatkan. Loyalitas yang terus hidup bahkan dalam nestapa memperlihatkan bahwa ada hal-hal dalam hidup yang tetap bermakna, meski tidak selalu berakhir dengan kemenangan. Lebih dari sekadar kesukaan terhadap olahraga, fandom menjadi bagian dari pengalaman budaya yang menyatukan individu-individu lintas latar belakang melalui narasi bersama. Dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh algoritma dan polarisasi opini, fandom menyuguhkan ruang sosial yang cair namun kuat di mana ikatan dibangun dari emosi bersama, bukan semata-mata ideologi atau kepentingan. Bahkan ketika fandom dibumbui oleh frustrasi dan sarkasme, ia tetap menyimpan nilai-nilai komunitas, ketulusan, dan keteguhan hati yang tak lekang oleh hasil.

Dalam konteks pendidikan, fenomena ini menyimpan banyak pelajaran. Dunia pendidikan perlu mengakui bahwa pembentukan karakter, literasi budaya, dan relasi sosial tidak hanya terjadi di ruang kelas, tetapi juga dalam dinamika keseharian seperti fandom. Dengan membuka diri terhadap realitas ini, pendidikan bisa menjadi lebih inklusif dan kontekstual, membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga tangguh, empatik, dan mampu membangun makna hidup di tengah dunia yang penuh ketidakpastian. Karena kadang, justru dari tim yang tak pernah juara, kita belajar apa arti sebenarnya dari bertahan dan menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun