Sebuah Narasi tentang Harapan, Penghematan, dan Luka Ekologis yang Terabaikan
Di sebuah kota besar yang mulai menanggulangi polusi dengan kendaraan listrik, seorang ayah dengan bangga menunjukkan mobil barunya kepada anaknya. "Ini mobil listrik, Nak. Nggak pakai bensin, nggak keluar asap." Sang anak terkagum. Masa depan seolah telah hadir: hijau, bersih, dan---konon katanya---lebih hemat.
Tapi tunggu dulu. Benarkah semua semudah dan sehemat itu?
Hemat atau Sekadar Pindah Biaya?
Salah satu daya tarik mobil listrik (EV) adalah klaim bahwa ia lebih hemat dalam pengeluaran harian. Memang, mobil listrik tidak perlu beli bensin. Pengisian daya di rumah umumnya lebih murah dibandingkan harga per liter BBM. Tak perlu ganti oli, lebih sedikit komponen, servis berkala lebih jarang, dan ada insentif seperti pembebasan pajak atau subsidi.
Namun, seberapa jauh penghematan ini berlaku untuk semua orang?
- Biaya charger: Instalasi pengisi daya rumahan bisa mahal. Di kota besar relatif mudah, tapi bagaimana dengan wilayah yang listriknya saja masih sering padam?
- Lonjakan tagihan listrik: Mengisi daya mobil di rumah setiap malam bisa menyebabkan lonjakan tagihan bulanan. Hemat, atau hanya memindahkan beban dari SPBU ke PLN?
- Nilai jual kembali: Pasar mobil bekas EV belum stabil. Teknologi berkembang cepat, tapi itu juga berarti depresiasi bisa lebih tajam.
- Baterai mahal: Setelah 8--10 tahun, baterai perlu diganti. Harganya bisa puluhan juta rupiah, bahkan melebihi nilai mobilnya saat itu.
Singkatnya, ya---mobil listrik bisa lebih hemat, tapi tidak selalu. Dan untuk siapa penghematan ini terasa? Mereka yang tinggal di kota, memiliki daya listrik cukup, dan akses ke insentif lebih berpeluang menikmati keuntungannya. Bagi masyarakat luar kota? Belum tentu.
Luka Ekologis di Hulu: Harga Mahal yang Tak Terlihat di Aspal Kota
Saat kita membicarakan EV sebagai solusi polusi, jarang sekali kita menengok ke hulu: tempat di mana bahan mentahnya berasal dan energi diproduksi.
- Tambang nikel: Indonesia adalah produsen nikel terbesar di dunia---logam utama dalam baterai EV. Namun, penambangan nikel di Halmahera, Sulawesi, dan wilayah timur lainnya mengakibatkan deforestasi, pencemaran sungai, dan konflik sosial dengan masyarakat adat.
- Smelter berbasis batubara: Pengolahan nikel banyak dilakukan di smelter yang disokong oleh PLTU batubara. Ini menyumbang polusi udara dan mempercepat krisis iklim.
- Energi masih kotor: Lebih dari 60% listrik di Indonesia masih bersumber dari batubara. Mobil listrik tidak mengeluarkan asap, tapi proses pengisian dayanya tetap menghasilkan emisi.
EV tidak menghilangkan polusi, hanya memindahkannya: dari knalpot ke cerobong PLTU, dari kota ke desa, dari jalan raya ke wilayah tambang.
Efisiensi Siapa, dan Biaya Siapa?
Secara teknis, mobil listrik memang lebih efisien. EV mampu mengubah sekitar 80% energi menjadi gerak, dibandingkan mobil bensin yang hanya sekitar 30--40%. Namun, efisiensi ini harus dilihat secara menyeluruh:
- Siapa yang mendapatkan insentif dan keuntungan?
- Siapa yang harus menerima pencemaran dan kerusakan lingkungan?
- Apakah kita benar-benar berubah, atau hanya mengganti bahan bakar sambil mempertahankan gaya hidup konsumtif?
Menuju Transisi Hijau yang Adil dan Tuntas
Mobil listrik bukan solusi ajaib. Ia bisa menjadi bagian dari solusi, jika transisi dilakukan dengan pendekatan yang berkeadilan dan berkelanjutan:
- Energi terbarukan harus diperluas: Tanpa energi bersih, EV tetap kotor dalam jejak karbonnya.
- Regulasi tambang yang ketat: Penambangan harus dilakukan dengan pengawasan lingkungan, transparansi, dan penghormatan terhadap hak masyarakat lokal.
- Sistem daur ulang baterai nasional: Tanpa sistem ini, limbah baterai bisa menjadi bom waktu ekologis.
- Akses dan subsidi yang merata: Jangan hanya tersedia di kota besar. Daerah pun berhak menikmati transisi hijau.
- Edukasi publik: Menjadi ramah lingkungan bukan hanya soal membeli EV, tapi juga soal mengurangi konsumsi dan meninjau ulang kebutuhan.