Mohon tunggu...
Mang Pram
Mang Pram Mohon Tunggu... Rahmatullah Safrai

Founder Sekumpul EduCreative dan Penulis Buku

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dari Makam Sultan Banten ke Sunan Gunung Jati: Kangen Ziarah yang Khusyuk, Bukan Komersil

7 Juli 2025   20:35 Diperbarui: 7 Juli 2025   20:35 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana peziarah memasuki kompleks pemakaman Sunan Gunung Jati 

Tahun Baru Islam kali ini bertepatan dengan liburan sekolah dan akhir pekan yang lumayan panjang. Saya memutuskan solo travelling ke Cirebon. Sekadar ingin menikmati kota tua yang kaya sejarah, sekaligus mencoba sesuatu yang lebih dari sekadar pelesiran, berziarah ke Makam Sunan Gunung Jati.

Sebagai warga Banten, nama Sunan Gunung Jati tak asing di telinga. Beliau bukan hanya penyebar Islam di Jawa Barat, tapi juga pendiri Kesultanan Cirebon dan ayah dari Sultan Maulana Hasanuddin, sultan pertama Banten. 

Maka perjalanan ini seperti pulang pada akar, sekaligus jadi momen menyambung sejarah lama. Tapi tak semua hal berjalan sesuai harapan. Ada yang membuat terdiam, heran, bahkan sedikit terusik.

Sebagai orang Banten, ziarah ke makam sultan adalah tradisi keluarga. Sejak kecil saya sudah diajak orang tua ke Banten Lama untuk berdoa dan harapan-harapan yang tak selalu diucapkan.

Siang itu, saya sampai di kawasan Gunung Jati dengan tas kecil di punggung. Matahari cukup terik, hembusan angin juga terasa kering, seperti ingin menguji kesabaran hari itu.

Tapi sejak turun dari ojek online dan menjejak ke area parkir, saya merasakan sesuatu yang ganjil. Belum masuk ke pintu utama, sudah "disambut" oleh barisan pria dewasa memegang baskom dan ember plastik.

"Sedekahnya dulu, Mas, seikhlasnya aja, " kata seorang bapak sambil menepuk pelan lengan saya. Tapi kalimat "seikhlasnya" itu diucapkan dengan tatapan yang tidak mengizinkan saya lewat begitu saja.

Saya tersenyum kaku, meletakan selembar uang kertas Rp2.000 di atas kotak amal, lalu berjalan. Baru lima langkah, datang lagi pria lain menyodorkan baskom. Lalu tiga langkah kemudian, baskom lainnya. Di setiap langkah ada tangan yang mengulurkan, tatapan mata ang menuntut, dan suara yang memaksa.

Saya tidak langsung masuk ke komplek utama makam, memilih bergeser sejenak ke pendopo. Mencari lantai yang sedikit bersih dari serakkan sampah dan sisa makanan yang tercecer. 

Saya melihat rombongan ibu-ibu berseragam, bertuliskan Peziarah Lampung yang tampak kebingungan. Jalan masuk dipersempit, satu-satunya akses jalur masuk diapit "para penjaga kotak amal".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun