Tinggal di Bekasi Timur, dengan segala dinamika dan padatnya kawasan, membuat saya cukup realistis ketika mulai mencarikan sekolah dasar (SD) untuk anak saya yang istimewa.Â
Anak kembar saya, yang satu didiagnosis Autism Spectrum Disorder (ASD) sejak usia 17 bulan, telah melalui banyak proses, mulai dari terapi, diet, pengobatan, selama lebih dari lima tahun.Â
Maka, saat tiba waktunya ia masuk SD, saya tahu betul bahwa sekolah bukan sekadar tempat ia belajar, tapi tempat ia tumbuh, beradaptasi, dan diterima.
Awal pencarian sekolah, dari 13 jadi 8.
Langkah pertama saya adalah membuat daftar. Sejak November 2024, saya menyusun sekitar 13 sekolah yang dalam skrining awal terlihat menerima anak inklusi.Â
Saya menghubungi mereka satu per satu, lewat DM media sosial, menanyakan hal yang paling mendasar, "Apakah sekolah ini benar-benar inklusi?"
Jawaban mereka beragam. Setelah disaring, hanya 8 sekolah yang menyatakan bahwa mereka memang menerima murid berkebutuhan khusus. Maka dimulailah perjalanan saya berkunjung ke sekolah-sekolah tersebut.
Saya tidak akan menyebut nama sekolahnya secara spesifik, tapi saya ingin membagikan kisah nyata yang mungkin bisa membantu orang tua lain dalam perjalanan serupa.Â
Karena ternyata, banyak sekolah yang menyebut dirinya "inklusif," tapi tak benar-benar memahami makna dan tanggung jawab dari pendidikan inklusi.
Kasus pertama: sekolah yang hanya "menerima"
Tipe sekolah pertama yang saya kunjungi memang mengatakan menerima anak berkebutuhan khusus. Akan tetapi, setelah observasi dan berbicara dengan beberapa staf dan wali murid, saya sadar, mereka sebenarnya bukan sekolah inklusi.
Mereka sekadar menerima anak istimewa berada di kelas reguler, tanpa penyesuaian kurikulum. Bayangkan, anak dengan kebutuhan khusus, autis seperti anak saya, duduk di kelas yang penuh tuntutan kurikulum standar tanpa dukungan khusus.Â