Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Mobil Listrik: Hemat atau Hanya Pindah Pos Pengeluaran?

7 Juli 2025   12:01 Diperbarui: 7 Juli 2025   11:03 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustration. (Source of the image: digtara.com/Freepik)

Mobil listrik sering diposisikan sebagai solusi masa depan: ramah lingkungan, minim perawatan, dan tentu saja---lebih hemat. Banyak yang menggaungkan bahwa mobil listrik tak perlu ganti oli, bebas pajak, dan biaya operasionalnya lebih rendah daripada mobil bensin. 

Namun, apakah benar penghematan itu terasa nyata dalam penggunaan sehari-hari? Atau justru hanya terjadi pergeseran jenis pengeluaran---dari pom bensin ke charging station, dari ganti oli ke ganti software, dari bengkel umum ke diler resmi? 

Penulis akan mengajak Anda menyelami realita di balik narasi efisiensi mobil listrik---untuk melihat apakah ia benar-benar menghemat, atau hanya memindahkan beban biaya ke pos yang berbeda. 

Biaya Operasional: Listrik vs Bensin

Salah satu alasan utama orang beralih ke mobil listrik adalah karena narasi besar soal penghematan. Katanya, cukup cas di rumah dengan listrik yang lebih murah daripada beli bensin, dan sudah bisa menjelajah tanpa harus mampir ke pom bensin. 

Jika dihitung kasar, mengisi baterai mobil listrik di rumah memang terasa jauh lebih murah. Rata-rata hanya perlu merogoh kocek antara tiga puluh hingga tujuh puluh ribu rupiah untuk satu kali isi penuh, tergantung pada kapasitas baterai dan tarif listrik rumah tangga yang dikenakan.

Namun di balik angka-angka itu, realitas di lapangan tidak sesederhana teori. Tak semua rumah punya daya listrik yang cukup besar untuk mendukung pengisian cepat. 

Banyak pengguna akhirnya harus menaikkan daya, yang tentu berdampak pada tagihan bulanan. Belum lagi jika terpaksa mengisi daya di SPKLU atau stasiun pengisian umum. 

Meskipun lebih cepat, tarifnya bisa mencapai seratus ribu rupiah bahkan lebih, ditambah biaya tambahan seperti parkir atau durasi penggunaan alat. Dalam beberapa kasus, pengeluaran ini bisa mendekati---bahkan menyaingi---biaya isi bensin mobil konvensional.

Kondisi geografis juga memainkan peran penting. Di kota-kota besar seperti Jakarta atau Surabaya, pengisian daya cukup mudah karena infrastruktur SPKLU sudah mulai merata. Tapi di luar kota besar, banyak pengguna harus mengandalkan listrik rumah, yang mungkin tidak selalu tersedia dalam kapasitas memadai. 

Ketika mobil digunakan untuk perjalanan jauh, kekhawatiran soal kehabisan daya---atau yang kerap disebut "range anxiety"---jadi momok tersendiri. Dalam kondisi darurat seperti itu, bisa saja pengguna akhirnya harus mencari pengisian dengan harga mahal atau bahkan menyewa mobil lain untuk menggantikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun