Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

New World Pilihan

AI, Penambangan Kripto, dan Kemiskinan Energi: Sebuah Krisis yang Terabaikan

7 Juli 2025   10:36 Diperbarui: 7 Juli 2025   10:36 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Gambar by AI Image Generator. (Sumber: Freepik)

 

Dalam dua dekade terakhir, dunia menyaksikan dua revolusi teknologi besar yang membentuk ulang ekonomi global: kemajuan kecerdasan buatan (AI) dan pertumbuhan masif penambangan kripto. Kedua teknologi ini menjanjikan efisiensi, desentralisasi, dan demokratisasi informasi.

Namun, di balik semua janji tersebut tersembunyi biaya energi yang sangat besar---dan tidak merata dampaknya. Konsumsi listrik yang dibutuhkan oleh model AI generatif seperti ChatGPT atau GPT-4, serta blockchain proof-of-work seperti Bitcoin, telah mencapai skala nasional, setara dengan emisi karbon beberapa negara berkembang.

Ironisnya, kemajuan teknologi ini sering berlangsung tanpa mempertimbangkan keseimbangan akses terhadap energi. Di saat pusat data dan rig penambang kripto membanjiri jaringan listrik global, jutaan rumah tangga di negara-negara Global South masih hidup tanpa akses listrik yang andal.

Bahkan, beberapa wilayah mengalami peningkatan harga listrik atau penjatahan daya akibat prioritas pasokan untuk infrastruktur digital. Dengan kata lain, terdapat "persaingan tersembunyi" antara teknologi frontier dan hak dasar manusia atas energi.

 AI dan Energi: Beban Infrastruktur Digital

Kecerdasan buatan generatif (generative AI) telah merevolusi berbagai sektor, dari layanan pelanggan hingga riset ilmiah. Namun, di balik kecerdasannya yang mengagumkan, terdapat kebutuhan energi yang luar biasa besar. 

Setiap permintaan (prompt) yang dijalankan pada model seperti GPT-4 atau Gemini Ultra, melibatkan proses komputasi paralel pada ribuan chip grafis (GPU) di pusat data, yang masing-masing mengonsumsi daya tinggi dan memerlukan pendinginan intensif.

Menurut International Energy Agency (IEA), pada tahun 2024 pusat data global menyumbang hampir 1,5% dari total konsumsi listrik dunia, dan angka ini diproyeksikan meningkat mencapai ~3% pada 2030 dengan estimasi konsumsi global mencapai 945TWh.

Lebih jauh lagi, IEA memproyeksikan bahwa antara 2022 (sekitar 460TWh) dan 2026, konsumsi listrik pusat data bisa dua kali lipat---mencapai hampir 1.000TWh, dipicu oleh penggunaan AI dan kripto.

Ketergantungan AI terhadap pusat data juga telah menciptakan dinamika permintaan energi yang sangat terkonsentrasi. Banyak perusahaan teknologi membangun pusat data di wilayah dengan tarif listrik murah, seperti Texas, Islandia, atau Irlandia. Hal ini mendorong kompetisi lokal antara kebutuhan industri dan publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten New World Selengkapnya
Lihat New World Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun