Pagi itu, Senin, 30 Juni 2025, jarum jam menunjukkan pukul 08.00 WIB ketika kami tiba di kaki Gunung Papandayan, Garut, Jawa Barat. Udara dingin langsung menyergap, menusuk tulang. Kabut tebal menyelimuti area sekitar, membuat pandangan terbatas.Â
Suhu di sana terasa ekstrem, terutama bagi kami yang terbiasa dengan hawa panas kota. Papandayan, gunung berapi yang terakhir meletus dahsyat pada tahun 2002, di Kecamatan Cisurupan ini memang terkenal dengan cuacanya yang tak terduga, dan pagi itu, ia menyambut kami dengan gigitan bedidingnya.
Musim bediding memang dikenal sangat dingin, apalagi di dataran tinggi seperti Papandayan. Kami sudah mengantisipasi hal ini. Jauh-jauh hari sebelum keberangkatan, kami sudah menyiapkan diri dengan pakaian tebal. Jaket berlapis-lapis, syal, sarung tangan, hingga topi kupluk menjadi perlengkapan wajib. Kami tidak mau pengalaman mendaki kami terganggu hanya karena kedinginan. Persiapan matang adalah kunci untuk menikmati perjalanan ini.
Melihat kabut tebal dan merasakan udara yang begitu menusuk, langkah pertama kami bukanlah langsung mendaki. Kami memutuskan untuk mampir ke salah satu warung kopi milik warga yang berjejer di dekat area parkir. Aroma kopi dan teh hangat yang mengepul dari warung itu terasa seperti penyelamat. Tanpa ragu, kami memesan minuman hangat untuk menghangatkan tubuh. Secangkir kopi panas atau teh manis hangat terasa nikmat sekali di tengah dinginnya udara.
Di warung itu, kami tidak hanya sekadar minum. Kami juga memanfaatkan waktu untuk bercengkrama, mengobrol santai sebelum memulai pendakian. Tawa dan canda mengiringi obrolan kami. Momen kebersamaan seperti ini sangat penting. Ini membangun semangat dan kekompakan tim. Kami saling bercerita, berbagi ekspektasi, dan memastikan semua dalam kondisi siap fisik maupun mental untuk menghadapi tantangan di depan.
Obrolan hangat itu terasa seperti api kecil yang menghangatkan kami dari dalam. Meskipun udara di luar masih sangat dingin, suasana di antara kami begitu akrab dan penuh semangat. Kami tahu, perjalanan mendaki gunung bukan hanya soal mencapai puncak, tapi juga tentang proses, kebersamaan, dan pengalaman yang kami ciptakan bersama.
Setelah tubuh terasa lebih hangat dan semangat terkumpul, kami pun beranjak dari warung. Waktu menunjukkan sekitar pukul 09.00 WIB. Sudah waktunya untuk memulai pendakian. Kami tidak membawa perlengkapan kemah karena memang tidak berencana menginap. Rencana kami adalah mendaki Papandayan pulang-pergi di hari yang sama. Ini berarti kami harus mengatur waktu dengan baik agar bisa sampai puncak dan kembali sebelum gelap.
Jalur pendakian Papandayan memang menawarkan pemandangan yang luar biasa, bahkan di tengah kabut sekalipun. Kami memulai langkah demi langkah, menapaki jalur yang sedikit menanjak. Pepohonan pinus menjulang tinggi di kiri kanan jalan, diselimuti embun. Sesekali, kami berpapasan dengan pendaki lain yang juga memulai perjalanannya.
Semakin tinggi kami mendaki, udara semakin dingin. Kami bisa melihat embun beku menempel di dedaunan dan ranting pohon. Pemandangan ini memang indah, tapi juga mengingatkan kami betapa ekstremnya suhu di sini. Setiap embusan napas terasa seperti uap yang keluar dari mulut, menguap di udara dingin.
Meskipun dingin, kami terus melangkah. Semangat kami tidak padam. Kami saling menyemangati, sesekali berhenti untuk mengambil napas atau sekadar menikmati pemandangan. Kami tahu, tujuan kami adalah mencapai puncak, merasakan sensasi berada di ketinggian, dan menikmati keindahan alam Papandayan.
Kami menyadari betul pentingnya menjaga stamina. Kami tidak memaksakan diri untuk terburu-buru. Sesekali, kami berhenti sejenak untuk minum air putih atau memakan camilan ringan untuk mengisi ulang energi. Bekal makanan dan minuman yang kami bawa juga disesuaikan dengan kebutuhan pendakian singkat ini.