Mohon tunggu...
Hery Setyawan
Hery Setyawan Mohon Tunggu... Guru

Penulis buku sekaligus Guru di SMPN 42 Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Diary

Sepeda Tidak Bertuan

7 Juli 2025   10:58 Diperbarui: 7 Juli 2025   10:58 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi sepeda (dokpri)

Di ujung lapangan sebuah sekolah bergantunglah sebuah sepeda tua tidak bertuan di dinding sekolah. Cat biru yang dulu mengilap kini diganti oleh relief batu seoleh berada disebuah pemandangan yang indah. Sepeda berkarat bannya, kempes tanpa harapan. Tak ada yang tahu pasti sejak kapan sepeda itu ada di sana. Ia seperti benda asing yang hadir begitu saja, lalu dibiarkan, dilupakan, dan perlahan menjadi bagian dari latar belakang.

Orang-orang menyebutnya sepeda tidak bertuan. Bukan karena sepeda itu tidak pernah dimiliki, tapi karena pemiliknya entah ke mana. Bisa jadi lupa atau bahkan sengaja meninggalkannya karena tak lagi berguna. Setiap orang yang melewati sepeda itu hanya melirik sebentar lalu melanjutkan langkah seolah tak terjadi apa-apa. Sepeda itu pun diam dan tidak bisa protes serta tidak bisa memohon untuk dipungut apalagi membela diri dari nasibnya yang menyedihkan.

Sepeda ini ibarat simbol dari banyak hal dalam hidup yang pernah berguna pernah disayangi lalu tiba-tiba dilupakan. Mungkin seperti mainan masa kecil yang dulu sangat kita cintai lalu perlahan tersimpan di kardus dan akhirnya berdebu di loteng. Atau seperti sahabat lama yang dulu selalu ada namun kini hanya tersimpan di kontak ponsel tanpa pernah disapa.

Ironisnya meskipun terlihat tua dan usang, sepeda itu masih punya potensi. Jika dirawat dibersihkan dan diperbaiki ia bisa kembali mengantar seseorang ke sekolah, ke pasar atau sekadar berkeliling menikmati angin sore. Tapi tidak ada yang mau meluangkan waktu untuk itu. Mungkin karena dianggap tidak sepadan dengan usaha atau karena orang sekarang lebih memilih kendaraan baru yang lebih cepat dan canggih.

Namun di balik kesunyiannya sepeda itu menyimpan cerita. Mungkin dulu ia pernah menjadi hadiah ulang tahun atau mungkin pernah digunakan untuk berangkat sekolah setiap pagi dengan menyusuri jalanan berlubang dan genangan air. Mungkin pernah membawa dua orang bersahabat dalam tawa. Kisah-kisah itu tak pernah diceritakan kembali, tapi diam-diam terukir di rangka besinya yang kini mulai berkarat.

Sepeda tidak bertuan mengajarkan kita bahwa segala sesuatu punya masa, tapi bukan berarti harus dibuang ketika tak lagi bersinar. Dalam hidup, banyak hal dan orang yang hanya butuh sedikit perhatian agar kembali bernilai. Terkadang, yang usang bukan barangnya tapi cara pandang kita terhadapnya.

Barangkali suatu hari ada seseorang yang lewat dan berhenti serta memutuskan untuk menghidupkan kembali sepeda itu. Bukan karena butuh tapi karena peduli. Dan mungkin dari sepeda yang terlantar itu akan lahir kembali cerita-cerita baru yang tak kalah berharga.

Penulis Guru Pendidikan Pancasila di SMPN 42 Jakarta

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun