Perjumpaan Pertama yang Tak Terduga
"Beberapa pertemuan tak pernah direncanakan, tapi membekas seumur hidup."
Tahun 1996, aku mahasiswa semester enam  jurusan Teknik di Universitas Indonesia. Saat KKN tiba, aku bersama sepuluh rekan lainnya ditempatkan di sebuah desa bernama Beiji, Depok. Wilayahnya tak jauh dari kampus, tapi nuansa pedesaan dan aroma tanah basah selepas hujan menjadikannya dunia yang berbeda dari kehidupan asrama dan fakultas.
Hari pertama kami mendatangi rumah pak RT untuk laporan kedatangan. Rumah panggung sederhana itu tampak bersih dan teduh. Di teras, seorang gadis mengenakan daster biru muda sedang menyapu. Dia hanya mengangguk dan tersenyum sekilas saat aku lewat. Senyum yang entah kenapa langsung menempel di kepalaku. Belakangan, aku tahu dia adalah Ratih, anak perempuan pak RT.
Malam harinya, aku iseng bertanya ke ibu-ibu setempat yang sedang memasak untuk acara sambutan. Salah satu dari mereka nyeletuk, "Ratih itu pinter banget, tapi gak bisa lanjut kuliah. Sayang padahal. Dia bantuin adik-adiknya belajar di rumah."
Sejak itu, aku jadi rajin lewat depan rumah pak RT. Kadang pura-pura tanya lokasi masjid, kadang hanya menyapa ayam yang sedang makan di halaman. Ketika akhirnya bisa mengobrol dengannya di pos ronda, aku tahu dia cerdas, tenang, dan punya cara memandang hidup yang dewasa. Perkenalan kami singkat, tapi penuh makna. Lalu, suatu sore dia berkata: "Mas, adik saya susah banget ngerti Fisika. Mas bisa ajarin enggak?"
"Kadang cinta dimulai bukan dari tatapan, tapi dari rumus dan halaman soal."
Dari Guru Privat Jadi Teman Hati
"Perasaan tumbuh pelan-pelan, seperti akar yang diam-diam mencengkeram tanah."
Pelajaran Fisika dan Matematika jadi alasan paling sahih buat aku sering ke rumah Ratih. Awalnya murni ngajarin adiknya, tapi lama-lama Ratih duduk di samping kami. Kadang bantu jelaskan, kadang hanya menyimak sambil menyeduh teh manis. Rumah kayu itu berubah jadi ruang kelas kecil yang hangat---dan dalam diam, jadi ruang tumbuhnya rasa yang tak aku sadari penuh.
Waktu terasa lambat dan manis di Beiji. Pagi hari kami berkegiatan sosial, membangun taman baca dan mengajari anak-anak mengaji. Tapi sorenya, aku paling semangat, karena itu waktunya "ngajar" di rumah pak RT. Kadang adik Ratih pura-pura sakit, dan kami malah asyik berdiskusi tentang buku, film, atau mimpi yang tak sempat dikejar karena keadaan.
Pernah satu kali, hujan turun deras, dan aku tak bawa jas hujan. Ratih menyodorkan payung hijau lusuh, lalu berjalan bersamaku sampai ujung gang. "Hati-hati ya, Mas. Besok jangan lupa bawa payung." Payung itu lebih hangat dari selimut, sering ku peluk sebelum tidur.