Ketika Saya Datang dengan Ilmu, Mereka Menyambut dengan Hati
"Kita datang dengan rencana, tapi hidup di desa selalu punya cara mengubah segalanya."
Tahun 1996, saya mahasiswa semester enam di Universitas Indonesia. Ketika pendaftaran KKN dibuka, saya tak banyak pikir. Saya pilih lokasi paling dekat dari kampus: Beji, Depok. Mungkin karena saya pikir, "Ah, gampang masih bisa pulang-pergi, dan bisa  ngopi di sekitar kost waktu itu "Â
Beji bukan sekadar lokasi, ia jadi ruang belajar hidup yang tak pernah saya duga. Tahun itu beiji sebuah desa kelurahan persis dibelakang kampus bersebelahan dengan desa kukusan yang masih asri dan gelap kalo sudah mau maghrib karena minimnya penerangan lampu jalan desa.
Kami bersepuluh, dari berbagai fakultas. Ada yang dari Kedokteran, Ekonomi, Fisip dan saya sendiri dari Teknik . Tiba di sana, kami disambut pak kuwu desa dan sekelompok ibu-ibu yang menjual gorengan, nasi uduk, dan senyum. Mereka sederhana, tapi wajah mereka menyimpan ratusan halaman kisah yang belum pernah ditulis.
Setiap pagi, kami menyusun program. Ada posyandu, bimbingan belajar, pelatihan ekonomi rumah tangga. Tapi yang paling mengubah hidup saya bukan yang kami rancang di papan tulis. Melainkan dari obrolan di bangku kayu warung pojok, bersama seorang ibu bernama Bu Raminah.
"Yang sungguh mengajari kita bukan teori, tapi mereka yang hidup dengan cara yang tak kita pahami, lalu kita duduk dan mendengarkan."
Belajar Ekonomi dari Ibu-Ibu, Bukan Buku Kuliah
 "Ilmu kampus sering lupa bahwa di bawah atap rumah seng dan bambu, ada akuntan, manajer, bahkan ahli strategi ekonomi."
Bu Raminah berjualan nasi uduk dan gorengan. Ia janda tiga anak. Saya pikir awalnya, "Ah, beliau ini pasti susah." Tapi ternyata, saya yang harus belajar dari cara ia mengatur ekonomi keluarga. Tanpa kalkulator, tanpa teori SWOT, Bu Raminah bisa memutar modal harian, menyekolahkan anak, dan tetap menabung.
"Mas, saya ini kalau gorengan nggak habis, besok dijadikan sayur asem. Nggak ada yang boleh terbuang. Duit itu dari keringat, bukan dari langit," katanya sambil tertawa kecil. Saya tertegun. Di kampus memang saya belajar elektro engineering , tapi waktu sekolah SMA dulu saya pernah belajar  soal inflasi dan strategi pemasaran, tapi tak ada yang mengajarkan tentang kebijaksanaan dalam memutar uang seperti ini.
Satu hari, kami iseng buatkan pelatihan manajemen keuangan keluarga. Kami pakai papan tulis dan kapur dan alat bantu peraga seadanya. Tapi dari 20 ibu ibu yang diundang, hanya 5 yang datang. Lalu saya coba pendekatan berbeda: duduk di warung, mendengarkan cerita, dan baru sesekali menyisipkan ide. Hasilnya jauh lebih baik. Banyak yang mulai mencatat pengeluaran, bahkan satu kelompok arisan dibuat jadi koperasi kecil.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!