Juli baru saja kita mulai. Di kalender sekolah, hari pertama masuk sudah ditandai tebal dengan spidol merah. Tapi di halaman sekolah, yang terdengar masih suara angin dan langkah kaki kami para guru yang datang lebih pagi dari biasanya.
Saya berdiri di depan ruang kelas yang akan saya isi. Kuncinya masih menggantung di leher. Meja dan kursi belum berdebu, tapi udara di dalam ruang itu masih dingin dan kosong. Ada semacam jeda panjang sebelum semuanya kembali hidup. Sebelum suara-suara kecil memenuhi dinding-dinding ini lagi.
Dari luar, sekolah tampak biasa saja. Tapi kami tahu, ini adalah minggu yang berbeda. Ini adalah minggu menjelang Hari Pertama Masuk Sekolah, momen yang lebih sering dirayakan oleh rasa gugup daripada kembang api.
Sekolah yang Masih Sepi, Tapi Sudah Mulai Bersiap
Saya tidak pernah bisa meremehkan minggu-minggu menjelang hari pertama. Justru di sinilah semuanya dimulai. Di lorong yang masih lengang, di papan tulis yang belum terisi, di rak buku yang sudah saya bersihkan dua kali meskipun belum kotor.
Kami para guru mulai berdatangan satu per satu. Ada yang langsung menuju ruang guru, ada yang berjalan keliling kelas seperti sedang menyapa tembok dan lantai yang sunyi.Â
Kami tertawa kecil, menyusun ulang meja kursi, menempelkan kata-kata penyemangat di dinding, dan tak lupa memeriksa daftar siswa baru barangkali ada nama yang terasa asing tapi kelak akan akrab sekali di hati.
Tahun ini, saya mendapat kelas baru. Wajah-wajah baru, nama-nama baru, cerita-cerita yang belum saya dengar. Dan meskipun saya sudah mengajar bertahun-tahun, momen ini selalu membuat saya berdebar. Karena saya tahu, apa yang saya lakukan di minggu pertama akan membentuk nada sepanjang tahun.
Yang paling kami siapkan bukan cat baru di dinding, tapi ruang aman di dalam kelas.
Apa yang Sebenarnya Kami Siapkan?
Persiapan di sekolah tidak selalu tentang benda atau perlengkapan. Lebih dari itu, kami menyiapkan hati. Kami mengingat kembali satu per satu siswa tahun lalu. Mereka yang mudah tersenyum, mereka yang pendiam, mereka yang sesekali membuat gaduh tapi diam-diam merindukan perhatian.
Kami menyiapkan ruang agar semua anak merasa boleh datang apa adanya. Yang malu-malu, yang terlalu semangat, yang baru pindah, yang belum punya teman. Kami tahu, tidak semua anak datang ke sekolah dengan semangat. Ada yang datang dengan beban dari rumah. Ada yang sedang kehilangan. Ada yang hanya ingin dilihat dan dianggap ada.
Dan karena itu, kami menyiapkan lebih dari rencana pembelajaran. Kami menyiapkan pelukan tak kasat mata, sapaan yang tulus, dan tatapan yang menyiratkan: "Kamu aman di sini."