Di tengah perkembangan zaman yang semakin modern, kesadaran masyarakat Indonesia untuk menjalankan aktivitas ekonomi sesuai nilai-nilai Islam terus meningkat. Hal ini tercermin dari pesatnya pertumbuhan industri perbankan syariah yang tidak hanya menawarkan layanan keuangan bebas bunga, tetapi juga mengedepankan prinsip keadilan, transparansi, dan keberkahan.
Perbankan syariah hadir sebagai jawaban atas kebutuhan umat akan transaksi yang terhindar dari praktik riba (bunga), gharar (ketidakjelasan), dan maisir (spekulasi berlebihan), yang selama ini menjadi kekhawatiran utama dalam sistem keuangan konvensional. Dengan berpegang pada berbagai fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), bank-bank syariah memastikan setiap produk dan layanan mereka berjalan sesuai koridor syariah.
Pertumbuhan industri ini bukan hanya menjadi tanda meningkatnya literasi keuangan syariah masyarakat, tetapi juga membuka peluang besar untuk mendorong ekonomi nasional yang lebih inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Industri perbankan syariah Indonesia terus mengalami pertumbuhan positif di tengah dinamika perekonomian global. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Mei 2025, total aset perbankan syariah nasional mencapai Rp765 triliun, meningkat sekitar 12,8% secara tahunan. Ini menunjukkan kepercayaan masyarakat yang semakin tinggi terhadap layanan keuangan yang sesuai syariah.
Faktor penting yang menjadi pondasi kekuatan perbankan syariah di Indonesia adalah keberadaan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Fatwa-fatwa ini menjadi rujukan mutlak dalam setiap produk dan operasional perbankan syariah, memastikan tidak mengandung unsur riba (bunga), gharar (ketidakjelasan), maupun maisir (spekulasi berlebihan).
Kutipan langsung beberapa fatwa penting
Berikut sejumlah fatwa DSN-MUI yang menjadi landasan utama produk bank syariah, dengan kutipan poin pokoknya:
✅ Fatwa DSN-MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah
“Dalam murabahah, penjual (bank) harus memberitahukan harga perolehan barang dan keuntungan (margin) kepada pembeli (nasabah). Harga jual tidak boleh berubah selama akad berlangsung.”
✅ Fatwa DSN-MUI No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Mudharabah (Qiradh)
“Keuntungan usaha dibagi sesuai nisbah yang disepakati dalam akad, sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik modal sepanjang bukan karena kelalaian mudharib (pengelola).”