Kalau kamu pernah berkunjung ke Bojonegoro, kabupaten yang terkenal dengan hutan jatinya, aliran Bengawan Solo-nya, dan tentu saja sumur-sumur minyaknya, jangan lupa mampir ke daerah Kecamatan Margomulyo. Di sanalah, sebuah komunitas hidup dengan tenang dan bersahaja, mempertahankan nilai-nilai yang diwariskan dari leluhur mereka sejak zaman kolonial: masyarakat Samin.
Siapa mereka? Apa istimewanya? Dan bagaimana mereka mengekspresikan kebudayaannya lewat festival?
Warisan dari Surokonto
Masyarakat Samin atau lebih tepatnya Sedulur Sikep, merupakan kelompok adat yang mengikuti ajaran Samin Surosentiko, tokoh perlawanan non-kekerasan terhadap penjajahan Belanda di awal abad ke-20. Ia bukan pejuang bersenjata, tapi penolak pajak yang gigih, yang memproklamirkan ajaran moral dan sosial sebagai jalan hidup: jujur, tidak mencuri, tidak korup, tidak iri, tidak berbohong. Ajarannya sederhana, tapi relevan di segala zaman---termasuk zaman sekarang yang kadang membuat kita geleng-geleng kepala oleh perilaku elit yang gemar manipulasi.
Di tengah arus modernisasi, masyarakat Samin tetap teguh menjaga prinsip hidupnya. Mereka tidak suka ribut, tidak doyan sorotan, dan lebih senang hidup di jalur tenang---tidak jauh dari hutan, tidak jauh dari sawah.
Namun siapa sangka, masyarakat yang sering dianggap "diam" ini ternyata punya cara unik untuk berbicara kepada dunia: lewat festival budaya.
Festival Budaya Samin: Panggung Kearifan Lokal
Sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah daerah Bojonegoro bersama masyarakat adat di Margomulyo menggelar Festival Budaya Samin. Ini bukan sekadar atraksi seni atau ajang promosi wisata, tapi panggung untuk menyuarakan nilai-nilai leluhur dan filosofi hidup yang kini justru makin relevan: kesederhanaan, kejujuran, dan harmoni dengan alam.
Festival ini biasanya diselenggarakan setiap bulan Juli. Masyarakat Samin ikut tampil dengan berbagai ekspresi budaya khas: tarian, tembang macapat, seni anyaman, hingga simulasi prosesi kehidupan mereka yang tenang dan bermakna.