Prolog: Di tengah dorongan transisi energi, suara dari daerah penghasil nikel jarang terdengar. Artikel ini mencoba memberi ruang bagi pengalaman warga yang hidup berdampingan dengan tambang, namun jauh dari manfaat mobil listrik itu sendiri.
Saya belum pernah melihat mobil listrik secara langsung. Kalau sepeda listrik atau motor listrik, sudah mulai banyak di sini. Ini saya cerita dari Maluku Utara, tempat yang jauh dari hiruk pikuk showroom EV, tapi dekat sekali dengan dentuman tambang dan jalanan yang dipenuhi debu serta sisa solar dari kendaraan berat.
Tapi suara tambang dan debu jalan berlapis solar sudah jadi bagian dari hari-hari kami. Ironis rasanya: saat kota-kota besar bicara masa depan energi, kami di pulau kecil masih menyesap udara bercampur jelaga. Mobil listrik? Itu bahasa masa depan yang tak pernah singgah ke halaman rumah kami. Tapi luka dari proyek besar itu, justru terasa nyata.
Transisi Energi dan Euforia Mobil Listrik
Tren kendaraan listrik di Indonesia memang sedang mengalami akselerasi signifikan. Pada tahun 2022, penjualan mobil listrik berbasis baterai (BEV) tercatat sebanyak 10.327 unit, naik menjadi 17.051 unit pada 2023, dan melonjak ke angka 43.188 unit sepanjang 2024. Hanya dalam empat bulan pertama 2025, sebanyak 23.952 unit BEV sudah terjual. Pangsa pasar kini didominasi oleh produsen asal Tiongkok seperti BYD, Denza, dan Chery, menggeser posisi produsen lama seperti Hyundai dan Wuling (sumber: Kompas.id, 09 Juni 2025).
Di sisi lain, pemerintah Indonesia juga menetapkan target ambisius dalam kerangka transisi energi nasional. Pada tahun 2030, ditargetkan terdapat 2 juta kendaraan listrik roda empat dan 13 juta kendaraan listrik roda dua mengaspal di seluruh Indonesia. Untuk mendukung populasi tersebut, diperlukan lebih dari 25.000 SPKLU (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum) dan insentif fiskal besar, termasuk subsidi motor listrik dan konversi kendaraan konvensional (sumber: Kementerian ESDM, 2024).Â
Di pusat kebijakan dan pasar, kendaraan listrik mulai dianggap gaya hidup baru, simbol kelas menengah hijau yang peduli iklim. Di jalanan Jakarta atau Bandung, mobil listrik itu yang nyaris tanpa suara melaju dengan bangga, seringkali tanpa tahu dari mana baterainya berasal.
Di balik semangat itu, Maluku Utara menjadi salah satu wilayah kunci. Di Halmahera Timur, tepatnya di Kecamatan Maba, pemerintah meresmikan proyek ekosistem baterai listrik terintegrasi terbesar di dunia. Proyek ini mencakup tambang, smelter, pabrik katoda, hingga fasilitas daur ulang. Nilainya mencapai hampir Rp100 triliun (Sumber: sindonews.com, 29 Juni 2025).Â
Ketika Energi Bersih Menyisakan Luka
Energi bersih yang dipromosikan hari ini tidak datang tanpa dampak. Di Halmahera, proyek tambang dan industri baterai telah mengubah lanskap ekologis dan sosial secara drastis. Hutan digunduli, aliran sungai tercemar, dan ruang hidup warga desa menyempit.
Riset Nexus3 Foundation dan Universitas Tadulako (Mei 2025) menemukan jejak logam berat seperti merkuri dan arsenik dalam darah warga dan ikan tangkapan di Teluk Weda. Dari 46 sampel darah, 47 persen melebihi ambang aman WHO untuk merkuri, dan 32 persen untuk arsenik. Tak hanya itu, kasus ISPA melonjak tajam: dari 434 kasus pada 2020 menjadi lebih dari 10.000 kasus pada 2023.
Laporan Kompas (26 Mei 2025) menguatkan temuan ini, menekankan bahwa pencemaran bukan hanya soal lingkungan, tapi soal hak hidup sehat. Di sekitar tambang dan PLTU, warga hidup dengan udara yang tercemar debu dan pesisir yang kehilangan ekosistem mangrove.