Oleh: Dr. Akhmad Aflaha
Beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan geliat pembangunan dari pinggiran yang digaungkan lewat berbagai program desa. Salah satunya yang paling menonjol adalah kehadiran BUMDes—Badan Usaha Milik Desa—yang sejak disahkan lewat UU Desa telah menjadi harapan baru bagi ekonomi lokal.
Namun, kini hadir lagi program baru yang tak kalah ambisius: Koperasi Merah Putih, yang dibentuk pemerintah pusat sebagai langkah strategis membangun koperasi modern berbasis digital, inklusif, dan langsung menyentuh masyarakat akar rumput. Maka muncul pertanyaan: Bagaimana nasib BUMDes setelah kehadiran koperasi raksasa ini?
BUMDes: Ide Bagus, Tapi Banyak PR
Secara gagasan, BUMDes adalah terobosan. Desa diberi hak mengelola potensi ekonominya sendiri. Banyak desa membuat unit usaha: air bersih, simpan pinjam, pasar desa, hingga tempat wisata. Tapi jujur saja, tak semua BUMDes sukses. Banyak yang jalan di tempat karena SDM terbatas, tidak ada pelatihan, atau malah tersandung konflik internal.
Sebagian malah sekadar formalitas agar dana desa terserap. Laporan lengkap, papan nama ada, tapi kegiatannya nyaris tak terdengar.
Koperasi Merah Putih: Gebrakan Besar dari Pusat
Koperasi Merah Putih tampil bak bintang baru. Dirancang sebagai koperasi digital yang terhubung langsung ke pusat, koperasi ini menyasar petani, nelayan, pelaku UMKM, dan warga prasejahtera. Teknologi digital dijadikan senjata utama untuk menciptakan efisiensi dan transparansi.
Dari satu sisi, ini adalah langkah positif. Tapi dari sisi lain, kita tak bisa menutup mata: target dan wilayah kerja koperasi ini sangat mirip dengan BUMDes.
Lalu, apa kabarnya BUMDes jika koperasi Merah Putih terus melaju?