Mohon tunggu...
Arai Amelya
Arai Amelya Mohon Tunggu... heyarai.com

Mantan penyiar radio, jurnalis, editor dan writer situs entertainment. Sekarang sebagai scriptwriter dan traveler blogger. Penyuka solo traveling, kucing dan nasi goreng.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menjahit Cahaya Harapan Bumiaji dari Kegelapan Seni Bantengan

7 Juli 2025   10:31 Diperbarui: 7 Juli 2025   17:09 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pertunjukan seni Bantengan di galeri Batik Bantengan Anjani (sumber foto: Arai Amelya)

Siang itu awan mendung menggelayut tebal di langit Binangun. Angin pun ikut meniupkan hembusan hawa dingin, seolah memberi pertanda kalau hujan memang akan segera datang. Namun masyarakat Binangun sepertinya tidak menganggap itu sebagai permintaan angkasa agar berdiam di rumah masing-masing.

Menggunakan pakaian serba hitam seolah hendak menonton konser band metal, warga lereng Gunung Arjuno itu justru memadukan langkah menuju Anjani Batik Gallery. Mulai dari anak-anak kecil, remaja, hingga orang dewasa terlepas laki atau perempuan, mereka berarak menuju pusat keramaian. Tanpa ada komando, langkah-langkah mereka berpadu melewati jalanan kampung yang biasanya dilalui kendaraan bermotor.

Dalam sekejap, area itupun sudah menjadi lautan manusia. Suara dengungan dari ratusan mulut itu teredam oleh hentakan keras cemeti yang ujungnya dibanting ke aspal oleh seorang pemuda. Begitu memekakkan telinga, seperti menjadi penanda kedatangan sosok tak kasatmata di antara yang fana. Suasana semakin berubah magis saat aroma dupa kemenyan semerbak di udara dan para penari Bantengan memasuki area terbuka.

Seperti mengamuk, para penari yang mayoritas anak-anak kecil itu berlarian dengan atribut topeng kepala banteng, membuat para penonton di area pinggir ikut berhamburan karena takut diseruduk. Bunyi kendang, gong dan alat musik tradisional lain yang bersahutan semakin menambah semarak kegiatan Bantengan sore itu.

"Kalau masih sore, anak-anak kecil yang bakal mberot (beraksi Bantengan seperti orang kesurupan). Nanti di malam hari, giliran penari Bantengan yang dewasa," jelas Anjani Sekar Arum yang berjalan di sampingku.

Aku mengangguk sambil masih berusaha menembus lautan manusia menuju galeri batik miliknya. Sebagai orang yang tinggal di Batu, kesenian Bantengan memang bukan hal asing bagiku. Hanya saja aku tidak pernah terbiasa dengan kesakralan yang memberikan kesan menyeramkan itu.

"Orang-orang memang menganggap kesenian Bantengan itu selalu seram. Mungkin karena ada yang ndadi (kesurupan). Padahal Bantengan bukanlah sesuatu yang mengerikan kalau bagi orang Bumiaji. Buat kami, Bantengan justru menjadi berkah luar biasa," lanjut Anjani, seolah tahu apa yang ada di pikiranku.

Para penari cilik Bantengan (sumber foto: Arai Amelya)
Para penari cilik Bantengan (sumber foto: Arai Amelya)

Aku pertama kali berkenalan dengan Anjani pada tahun 2021 silam.

Saat itu dia adalah seorang perempuan yang baru saja dirundung duka, karena kepergian sang suami, Netra Amin Atmadi. Pandemi Covid-19 yang menghantam pun seolah membuatnya makin terpuruk karena usaha batik yang dia jalani mengalami penurunan omzet drastis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun