Bulan Januari adalah bulan di mana mahasiswa perguruan tinggi mulai melaksanakan KKN. Salah satunya adalah aku. Aku ditempatkan di sebuah desa di pesisir utara pulau Jawa bersama dengan 7 mahasiswa lain. Kami mendapat posko di sebuah rumah yang cukup mewah. AC, kulkas, mesin cuci ... itu semua dimikili oleh rumah itu. Aku pikir, sungguh beruntung kami dapat posko yang sangat nyaman seperti ini. Kami mulai meletakkan barang-barang kami dan menyiapkan tempat untuk istirahat. Kami kemudian didatangi oleh pengurus rumah. Beliau dipanggil Bu Ratri. Bu Ratri mulai menjelaskan terkait perabotan dan segala sesuatu yang ada di rumah itu. Lalu, ada satu hal yang beliau minta dan tekankan, yaitu rumah itu beliau minta selalu dibersihkan setiap pagi. Bukan permintaan yang aneh, kan?
Setelah satu hari tinggal di sana, aku kadang bosan dan berniat untuk menjelajah sekitar. Waktu itu, aku memutuskan pergi ke luar bersama teman sekamarku, Nuri, untuk membeli minuman di warung tak jauh dari posko. Penjaganya seorang bapak-bapak tua yang dengan ramah menyambut kami. Mengamati wajah kami yang mungkin terasa baru bagi beliau, beliau mulai menanyakan beberapa pertanyaan. Lalu, ada satu pertanyaan yang jika aku pikirkan sekarang, aku hanya bisa menghela napas dan berteori.
"Kalian tinggal di rumah yang mana, Nduk?" Bapak itu bertanya dengan ramah.Â
Aku dengan tersenyum menjawab, "Di rumah depan ini, Pak, yang catnya merah."Â
Bapak itu terdiam sebentar dan melihat rumah besar yang menjulang itu. Lalu, dengan menerbitkan senyum, beliau kembali berkata, "Owalah ... ya sudah, tidak apa-apa. Rumahnya aman, kok."Â
Aku dan temanku hanya tersenyum, tidak ada kecurigaan apa-apa terhadap perkataan itu. Lalu, kami berpamitan pulang ke posko. Setelahnya, aku bersyukur karena tidak ada kejadian aneh malam itu, namun aku tidak tahu bagaimana dengan temanku.
Hari berikutnya adalah jatah aku mencuci. Aku baru bisa mencuci pada sore hari. Menjelang maghrib, cucianku baru selesai. Aku mulai membawa pakaian setengah kering itu menuju ke tempat jemur, yang letaknya berada di belakang rumah. Saat itu, aku sendirian di sana. Satu, dua baju mulai selesai aku jemur. Tak lama, azan berkumandang. Waktu itu, aku masih menjemur beberapa potong baju yang tersisa. Tiba-tiba aku mendengar ... ada suara wanita tertawa. Sangat keras. Kalau dalam bahasa Jawa, itu mengarah ke cewawakan. Tertawa terbahak-bahak tidak aturan. Aku mengira kalau itu temanku yang sedang bercengkrama. Kita sama-sama tahu, energi anak muda kadang tidak tahu batasan waktu. Saat aku mulai jengkel karena mereka cewawakan ketika azan maghrib, aku mempercepat diriku dan berniat untuk menegur mereka. Jengkel, karena mereka kan sudah dewasa, kenapa mereka tertawa begitu kencang ketika azan berkumandang? Aku melongok, mencoba melihat siapa yang tertawa seperti itu, tapi karena garasi itu cukup luas, aku belum bisa melihat siapa-siapa di sana. Tidak lama setelah itu, aku pun selesai menjemur baju dan bersiap untuk mengomeli temanku. Tahukah kalian? Ketika aku melangkah masuk, ternyata tidak ada siapapun di garasi atau tempat yang biasa kami gunakan untuk mencuci. Aku katakan, jeda waktu saat aku melongok dan masuk ke dalam rumah itu tidak lama. Waktu aku melongok pun, suara cekikikan itu masih terdengar keras. Namun, anehnya, tidak ada siapapun di sana saat aku masuk.
Hening.
Suara azan juga telah berhenti.Â
Bulu kudukku tiba-tiba meremang. Aku bergidik karena tawa itu terdengar jelas di telingaku. Setelah mendapati garasi ternyata kosong, aku mengatur napas dan mencoba menenangkan diri. Aku kemudian menutup pintu belakang rumah dan mulai melangkah masuk menuju ke dapur. Aku memilih untuk tidak menceritakan hal itu ke siapapun. Aku kemudian menyeduh kopi dan duduk di lantai, di depan meja dapur. Satu sruputan ... aku tiba-tiba mendengar bunyi percikan air dari arah toilet yang berada di sisi kananku.
Cik...