Guru yang Tidak Sabar di Pintu Gerbang
Dina selalu datang pagi. Sangat pagi.
Saat burung belum selesai berkicau dan udara masih menggigit, ia sudah berdiri di depan pintu gerbang sekolah. Seragam rapi, jas almamater tersampir dengan lencana kehormatan, senyumnya siap menyambut siswa-siswinya satu per satu. Ia tidak sabar. Bukan karena ingin mulai mengajar atau karena janji kenaikan tunjangan, tapi karena ia tahu hari ini adalah hari pertama tahun ajaran baru. Dan mungkin juga hari pertama dia akan bertemu dengan "siswa titipan" itu.
Ya, siswa titipan.
Sebuah kata yang dulu hanya lelucon di antara guru-guru saat ada murid nakal yang sulit dikendalikan. Tapi untuk Dina, itu benar-benar nyata.
Dua tahun lalu, sahabat baiknya, Rani, meninggal dunia karena kanker darah. Di ranjang terakhirnya, sambil menahan sakit dan air mata, Rani memegang tangan Mbak Dina dan berkata:
"Kamu harus jaga Aria. Kamu harus pastikan dia jadi orang baik. Jangan biarkan hidupnya hancur karena aku tidak ada lagi."
Aria, putra tunggal Rani, yang ketika itu masih duduk di kelas 5 SD.
Dan Dina, dengan suara serak dan hati yang remuk, menjawab:Â
"Aku janji."
Sejak saat itu, setiap kali tahun ajaran baru dimulai, hati Dina selalu tidak tenang. Aria akan naik kelas, dan mungkin tahun ini mereka akan berada di sekolah yang sama. Mungkin bahkan dalam kelas yang sama. Dan mungkin... mungkin hari ini, ia akhirnya akan melihat wajah anak yang dititipkan kepadanya.