Di tengah badai otomatisasi dan kemajuan kecerdasan buatan (AI), percakapan publik kita mengeras menjadi dua kubu yang saling menyalak tapi jarang saling mendengar.Â
Kubu pertama percaya bahwa kemajuan teknologi adalah keniscayaan. Mereka melihat manusia sebagai spesies adaptif: dulu dari batu ke besi, dari mesin uap ke microchip, sekarang tinggal menyesuaikan lagi. Kubu kedua---yang lebih filosofis---mempertanyakan arah semua ini. Mereka bicara tentang nilai manusia, keunikan kesadaran, dan hilangnya makna kerja.
Tapi ada satu sudut yang nyaris luput dari perhatian kedua kubu: martabat manusia bukan sekadar masalah "pekerjaan yang hilang" atau "kesadaran yang tak tergantikan". Martabat manusia juga soal rasa dihargai ketika tidak lagi dibutuhkan.
**
Kita terlalu sering mengaitkan martabat manusia dengan kerja. "Orang yang tidak bekerja akan kehilangan harga diri," begitu kita percaya. Tapi pernyataan ini sendiri mengandung bias modern yang tidak kita sadari. Seolah-olah manusia hanya berharga sejauh dia bisa memproduksi. Seolah makna hidup bergantung pada gaji, target kuartalan, dan jam kerja.
Padahal, dalam sejarah umat manusia, kerja bukan selalu pusat identitas. Di banyak kebudayaan tradisional, orang dihormati karena kebijaksanaan, karena peran dalam komunitas, karena waktu yang mereka luangkan untuk orang lain---bukan semata karena profesi mereka.
Pertanyaannya: apakah kita punya keberanian membayangkan kembali nilai manusia di luar definisi "produktif" versi pasar tenaga kerja?
**
AI tidak hanya menggeser profesi---ia menggeser cara kita mengukur keberhargaan. Ketika ChatGPT bisa menulis artikel, DALL-E bisa membuat desain, dan robot Boston Dynamics bisa menggantikan pekerjaan logistik, maka bukan cuma lowongan kerja yang terancam. Yang goyah adalah asumsi psikologis kolektif kita: bahwa kita istimewa karena hanya manusia yang bisa melakukan hal-hal itu.
Dan ketika kita tahu bahwa kita tak lagi istimewa dalam banyak hal, lalu di mana kita menempatkan diri?
**